Pages

Tuesday, August 6, 2013

Kuping Makin Berdengung, Benarkah Indikasi Gangguan Pendengaran?

Dokter, saya sudah pernah tes telinga 3 tahun lalu dan katanya memang ada masalah pendengaran sedikit. Yang ingin saya tanyakan sekarang kenapa telinga saya jadi semakin sering berdengung dan suka mendengar suara yang berbeda-beda? Apakah itu tandanya semakin parah? Dan tes apa yang harus saya jalankan sekarang? Dan bisa disembuhkan tidak? Terimakasih.

Happy (Perempuan menikah, 44 tahun)
dlia.XXXXXX@yahoo.com
Tinggi badan 160 cm, berat badan 55 kg

Jawaban

Dear Mrs. Happy,

Terimakasih atas kepercayaannya kepada kami. Telinga sering berdengung atau berdenging di dalam dunia kedokteran disebut: tinnitus. Tinnitus ini banyak sekali sinonimnya, seperti: ear murmur, ear noises, ears ringing in, hearing noises, murmur ear, noise(s) in ears, noises in head, ringing in ears, Ringing-Buzzing-Tinnitus, Tinnitus Aurium, dsb. Untuk lebih memudahkan dan menyederhanakan, maka kami akan menggunakan istilah tinnitus. Secara etimologi, terminologi 'tinnitus' berasal dari kata Latin 'tinnire' yang berarti 'berbunyi, berdering (to ring)' atau 'suatu bunyi dering/nyaring (a ringing).'

Definisi tinnitus yang singkat namun komprehensif adalah sebagai berikut (dikutip sesuai aslinya):
1. Tinnitus is the conscious experience of a sound that originates in the head or neck, and without voluntary origin obvious to that
person. (McFadden, 1982)
2. Tinnitus is an auditory phantom sensation (ringing of the ears) experienced when no external sound is present. [Eggermont JJ dan
Roberts LE, 2004]. Jadi pada intinya, tinnitus adalah telinga berdenging.

Derajat 'keparahan' tinnitus bervariasi, misalnya berupa: 1.berdering nyaring seperti bel (ringing), 2.berdesis (hissing), 3.berdengung (buzzing), 4.bunyi gemuruh, meraung-raung (roaring), 5.meng-klik (clicking), 6.bunyi kasar (rough sounds), di satu atau dua sisi telinga, hingga ke bunyi/suara tak tertahankan yang menyebabkan penderitanya bermaksud atau berniat bunuh diri.

Epidemiologi
Tinnitus umum terjadi. Di USA, tinnitus diderita oleh 10% populasi umum. Tinnitus sering dijumpai pada usia berapapun, terutama 40-70 tahun, dan jarang pada anak. Prevalensi pria dan wanita sama. Tinnitus dialami oleh sepertiga orang dewasa di waktu tertentu.

Pada sekitar 1–3% populasi, sensasi tinnitus telah mempengaruhi kualitas kehidupan, misalnya: gangguan tidur, prestasi kerja/kinerja yang memburuk, dan gangguan kejiwaan. Tinnitus dapat terjadi secara objektif maupun subjektif. Pada kasus tinnitus objektif, maka tinnitus dapat terjadi sebagai hasil dari: 1. ketidaknormalan patent eustachian tube, 2. ketidaknormalan pembuluh darah (vascular) di dalam kepala atau di leher, 3. kontraksi tetanik otot-otot soft palate.

Pada kasus tinnitus subjektif, maka tinnitus dapat terjadi sebagai hasil dari lesi yang melibatkan:
1. saluran telinga luar (external ear canal), 2. membran timpani, 3. ossicles, 4. cochlea, 5. saraf pendengaran (auditory nerve), 6. batang otak (brainstem), 7. cortex.
Sebanyak 50% penderita tinnitus tidak mengalami hilang pendengaran; dalam kasus ini, maka penyebab tinnitus jarang teridentifikasi.
Mengapa terjadi tinnitus? Mekanisme downregulation dari inhibisi intrakortikal yang diinduksi oleh kerusakan koklea atau terhadap jalur proyeksi auditori menyoroti beragam proses persarafan yang mendasari terjadinya tinnitus. Tinnitus juga dapat terjadi karena pengaruh pemakaian obat dan
keracunan zat tertentu.
Beberapa obat yang berpotensi menyebabkan terjadinya tinnitus adalah:
1. peresepan/toksisitas antibiotik aminoglikosida, 2. peresepan/toksisitas aspirin (Acetylsalicylic acid), 3. peresepan/toksisitas obat golongan Loop-diuretic, 4. peresepan/toksisitas quinine, 5. peresepan/toksisitas salicylate, 6. peresepan/toksisitas quinidine, 7. overdosis/toksisitas Lithium, 8. overdosis/intoksikasi salicylate, 9. efek samping/reaksi obat

Tinnitus juga dapat terjadi akibat keracunan (poisoning) zat tertentu, misalnya:
1. endrin, 2. karbonmonoksida, 3. nikotin (tembakau), 4. metilsalisilat, 5. logam berat, 6. racun/gigitan kadal 'Gila monster' (Heloderma suspectum), 7. herbal monkshood/aconite, 8. herbal cinchona/cinchophen

Keberanakeragaman (konsep) psikoakustik pada tinnitus membuktikan bahwa dinamika persarafan pada organ yang terkena berkontribusi pada sensasi tinnitus. Diketahui juga bahwa suara/bunyi eksterna dapat 'menutupi' tinnitus. Pada sekitar 50% penderita tinnitus, bunyi paling efektif menyerupai properti spektrum tinnitus, menunjukkan bahwa input suprathreshold terhadap daerah/organ yang kurang pendengaran (hearing loss) dapat memisahkan aktivitas persarafan di daerah ini. Proses yang sama dapat menjelaskan mengapa kebisingan dapat memprediksi tinnitus yang diperoleh dengan menyesuaikan intensitas dari perbandingan nada yang secara khas lebih rendah saat perbandingan frekuensi di dalam (2–3 dB) dibandingkan dengan di luar (10–15 dB) daerah tinnitus.

Pengukuran/penilaian tinnitus
Sebelum menegakkan diagnosis, maka dokter akan melakukan
langkah-langkah berikut ini:
1. anamnesis, 2. pemeriksaan fisik dan penunjang, 3. menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis, 4. memberikan terapi/penatalaksanaan dan edukasi penderita, 5. melakukan follow-up. Nah, di dalam anamnesis, salah satu yang diobservasi dan diinvestigasi dokter adalah riwayat medis yang signifikan atau berkaitan dengan terjadinya tinnitus, misalnya: onset, lokasi, pola, karakteristik (pitch, kompleksitas), keterhubungan dengan vertigo, berkurangnya pendengaran, aural fullness (ini terkait dengan penyakit Meniere), riwayat terpapar dengan faktor/medikasi ototoksik, faktor eksaserbasi/pereda, menanyakan riwayat menderita hiperlipidemia, gangguan tiroid, defisiensi vitamin B12, dan anemia. Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka berikut ini beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dokter, tentunya berdasarkan ketersediaan sarana-pra sarana di tempat praktiknya:
1. Magnetoencephalography (MEG scan), 2. Audiologic Tinnitus Management (ATM), 3. Tinnitus Functional Index (TFI), 4. Tinnitus Handicap Inventory (THI), 5. Tinnitus Questionnaire (TQ)

Sedangkan derajat keparahan (severity) tinnitus dapat dievaluasi menggunakan:
1. Iowa Tinnitus Handicap Questionnaire (THQ), 2. Tinnitus Handicap Inventory (THI), 3. Visual Analog Scale (VAS) Tinnitus Severity.
Teknik non-invasif untuk menilai tinnitus pulsatile adalah ultrasound, computed tomography, magnetic resonance imaging, angiography. Sekadar diketahui, glomus jugular tumor dapat menyebabkan terjadinya tinnitus pulsatile pada sekitar 60% penderita.

Berikut ini pedoman singkat yang biasa dipakai oleh dokter:
1. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke penyakit Meniere, maka akan dilakukan tes audiometri dan diagnosis klinis (ada 4 gejala: tinnitus, vertigo episodik yang berlangsung selama 15 menit hingga 24 jam, telinga terasa penuh unilateral, kehilangan pendengaran. Umumnya dirasakan di satu sisi telinga, namun 10-30% kasus bilateral atau dua telinga), 2. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke neuroma akustik (schwannoma), maka akan direkomendasikan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), 3. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke tumor Glomus, maka akan direkomendasikan pemeriksaan scan HRCT (high-resolution computer tomography), 4. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke otosclerosis, maka akan
direkomendasikan tes audiometri (biasanya hasil menunjukkan conductive hearing loss), 5. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke otitis media, maka dapat dilakukan pemeriksaan otoskopi dan diagnosis secara klinis (demam, sakit telinga, mual, muntah, atau tinnitus), 6. Bila dokter curiga pulsatile tinnitus mengarah ke dehiscent jugular bulb, maka dilakukan tes otoskopi dan pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA), 7. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke myoclonus, maka cukup dilakukan diagnosis klinis, 8. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke multiple sclerosis, maka dilakukan pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging) otak dengan gadolinium untuk mengkonfirmasikan lesi substansi putih (white matter lesions), 9. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke patulous eustachian tube, maka direkomendasikan pemeriksaan otomicroscopy, 10. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke penyakit cerebrovascular, maka direkomendasikan pemeriksaan duplex ultrasonography dan CT scan, 11. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke arteriovenous malformation (AVM), maka dipertimbangkan pemeriksaan MRI, MR angiography (MRA), atau carotid angiography, 12. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke dural arteriovenous fistula (AVF), maka direkomendasikan pemeriksaan MRA atau carotid angiography, 13. Bila dokter curiga tinnitus mengarah ke overdosis salisilat, maka dilakukan pemeriksaan kadar serum salisilat. Perlu diketahui, tinnitus terjadi bila konsentrasi serum salisilat lebih dari 30 mg/dL.

Diagnosis Banding
Di dalam kedokteran, banyak sekali kemungkinan penyakit/gangguan yang
ditandai dengan tinnitus, seperti:
A. Gangguan/penyakit infeksi (virus/bakteri), misalnya:
1. Labirintitis akibat virus, 2. Meningitis Bakterial, 3. Demam Lassa, 4. Herpes Zoster (geniculate ganglion)

B. Gangguan/kelainan autonomik, vegetatif, endokrin
1. sindrom/sakit kepala migren, 2. sejenis/semacam migraine, 3. migraine tipe hemiplegi, 4. migraine jenis ophthalmoplegic/ophthalmic, 5. migrainous stroke (atau ischemic injury), 6. migren akustik, 7. sindrom migren vertebrobasilar, 8. sindrom hipertensi labil, 9. hipertensi maligna, 10. hipertensi (accelerated), 11. hipertensi intrakranial benigna atau pseudotumor cerebri, 12. hipotiroidisme (myxedema), 13. penyakit Meniere (Meniere's disease)

C. Abses atau infeksi pada organ tubuh
1. Otitis eksterna/akut, 2. semua tipe Labirintitis, 3. Otitis media (akut dan kronis), 4. Osteomyelitis/petrous bone/Petrositis, 5. Acoustic neuritis/neuronitis, 6. Calvarium Osteomyelitis (Citelli)

D. Ada penyebab trauma (trauma di dalam istilah kedokteran berarti
luka, jejas, benturan, kecelakaan)
1. Trauma kepala, 2. Trauma telinga, 3. Laserasi/robekan/ruptur gendang telinga akut, 4. Sindrom postconcussion, 5. Labyrinthine concussion

E. Gangguan Keganasan (neoplastic disorders)
1. Neoplasma/tumor, 2. Neuroma akustik, 3. Karsinoma (kanker) nasofaring, 4. Cerebellopontine angle tumor, 5. Glomus jugulare tumor

F. Gangguan Metabolisme
1. Hipertrigliseridemia

G. Gangguan struktur, anatomi, dan benda asing
1. Benda asing di telinga, 2. sindrom subluksasi temporomandibular, 3. serumen terimpaksi, 4. fistula labirin, 5. temporomandibular joint ankylosis, 6. TMJ/Cartilage derangement

H. Mengacu ke Sistim Organ
1. Anemia berat, 2. Anemia pernisiosa (pernicious anemia), 3. Gangguan saraf ke delapan, 4. temporomandibular joint (TMJ) arthritis/synovitis

I. Gangguan perkembangan dan kongenital (bawaan)
1. cerebral arteriovenous malformation (AVM), yaitu: ketidaknormalan koneksi/sambungan/hubungan antara pembuluh darah arteri dan vena di
otak, 2. sindrom cervico-oculo-acoustic

J. Gangguan genetik, familial, herediter
1. Otosclerosis, yaitu: ketidaknormalan pertumbuhan tulang di dekat telinga tengah, 2. migren hemiplegi, 3. episodic ataxia/EA-2, 4. neurofibromatosis akustik bilateral (NF2)

K. Gangguan yang terkait dengan usia lanjut, nekrosis, degeneratif,
dan pemakaian
1. Presbycusis, yaitu berkurangnya fungsi pendengaran berkaitan dengan usia
L. Gangguan esoterik, eponimik
1. sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Pengukuran Klinis
Pengukuran klinis tinnitus diperlukan untuk:
1. menetapkan informasi diagnostik, 2. pemilihan terapi yang tepat, 3. dokumentasi kuantitatif tentang efek-efek terapi.

Solusi
Hingga kini, tinnitus tetap merupakan tantangan tersendiri baik bagi dokter, peneliti, ilmuwan, komunitas kedokteran-kesehatan, maupun penderita. Terapi dengan obat golongan agonis reseptor GABA terbukti meredakan, meskipun memerlukan riset lanjutan. Intervensi psikologis untuk mengurangi cemas dan depresi yang terkait dengan kejadian tinnitus dilaporkan penderita bermanfaat, meskipun pada beberapa kasus, tinnitus belum hilang sepenuhnya.

Pencegahan
Tinnitus dapat dicegah bila penghambat reseptor NMDA (N-Methyl-D-aspartic acid atau N-Methyl-D-aspartate) diinfus ke cochlea sebelum aplikasi salisilat dan bahwa pemberian NMDA receptor blockers sebelumnya dapat membatasi berkurangnya pendengaran sebagai hasil dari noise trauma. Tampaknya dengan mengurangi meluasnya kurang pendengaran dapat dilakukan dengan mencegah efek-efek neurotoksik dari pelepasan glutamat yang berlebihan di reseptor NMDA cochlear.

Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

Salam sehat dan sukses selalu!!!

Dokter Dito Anurogo

No comments: